Pengamat Politik, Arif Ma’ruf Riscahyono. |
...dalam kontestasi politik seperti Pilkada, cost politik sangatlah besar, tak mungkin dicover oleh dana pribadi..
Tantangan terberat Mas dan Mbak Rio-Ulfi setelah Februari 2025 nanti dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Situbondo, setidaknya ada dua. Pertama, mempertahankan koalisi besar beserta elemen-elemen pendukungnya, termasuk kultur. Kedua, bagaimana menyelesaikan cost politics, tanpa 'ngecok dan congoco' selama lima tahun ke depan.
Tantangan yang pertama, jelas tidak mudah. Melayani kepentingan partai-partai dan juga kepentingan pendukung serta relawan, berat. Di jaman Pak Karna, melayani satu partai pengusung saja, dia kelabakan. Puncaknya ketika diminta menempatkan posisi dua orang kepala dinas yang ditolak oleh Pak Karna yang berakhir dengan tidak lagi kebersamaan.
Pasangan Rio-ulfi, akan menghadapi tekanan dan ujian yang lebih berat. Yang harus dilayani, kepentingan dua partai besar dan beberapa partai lainnya, kepentingan dua kutub dengan egonya masing-masing, juga para 'relawan' yang punya ekspektasi tinggi sebagai orang yang sangat berjasa.
Tak mungkin Rio - Ulfi memuaskan semua pihak. Tak mungkin kepentingan pihak-pihak yang merasa ikut berjasa memenangkan diakomodir semua. Bahkan bisa jadi akan muncul 'Rongggolawe dan Fathorlawe' lagi. Orang yang pertama berjuang di garis depan, menjadi orang pertama yang tersingkirkan. Jangan lupa, sejarah akan selalu berulang.
Itulah mengapa penulis memprediksi koalisi kebersamaan hanya akan berumur tak lebih dari setahun. Tanda-tandanya sudah kelihatan. Tim transisi yang dibentuk minggu lalu, tidak melibatkan setidaknya dua Ketua Partai. Bahkan, ketua Tim Pemenangan Rio-Ulfa juga tidak masuk. Nanti setelah Februari, pada saat penempatan jabatan, tarik ulur akan semakin kuat dan waktu itulah perpecahan koalisi kebersamaan, dimulai. Puncaknya ketika kue proyek APBD akan dibagi di bulan Mei-Juni. Proyek-proyek tak bertuan yang akan diperebutkan.
Tantangan kedua, tak kalah tidak mudahnya. Jargon 'Tak Congocoa, Tak Ngeco'a" sangat bagus sebagai tagline kampanye. Tapi, nyaris tidak mungkin dalam kenyataan.
Bukan rahasia lagi, dalam kontestasi politik seperti Pilkada, cost politik sangatlah besar. Cost politik itu tak mungkin dicover oleh dana pribadi. Selalu ada bohir di belakang panggung. Bisa jadi mereka adalah kontraktor, pemodal, pemilik pabrik emas, ASN, atau bahkan pinjaman bank, yang pada akhirnya dana-dana itu harus dikembalikan. Konon, cost politics sekelas Kabupaten Situbondo bisa menghabiskan minimal lima puluh miliar rupiah.
Pertanyaannya, bisakah pasangan Rio-Ulfi mengembalikan "pinjaman-pinjaman" tanpa "ngecok" dan tanpa "congoco"? Pada saat yang bersamaan, juga banyak yang harus dilayani, termasuk tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, dan bisa jadi juga APH yang anggaran honornya di APBD minimalis.
Menurut penulis, tak mungkin semua itu ditutup dari dana operasional bupati dan wakil bupati. Pada akhirnya, Rio - Ulfi akan melakukan seperti yang dituduh lakukan Pak Karna, main fee proyek, titip di hibah dan jasmas, bisa jadi juga jual beli jabatan yang semua itu masuk katagori "ngecok dan congoco". Soalnya, tinggal ketahuan APH atau tidak, apes atau beruntung.
Tokoh-tokoh agama, akan masa bodoh dari mana uang diterima berasal. Dana yang mereka terima akan dinetralisir menjadi uang halal.
Terlepas dari semua itu, penulis senang calon yang didukung kultur, menang. Paling tidak, masjid-masjid di lingkungan pondok akan ramai lagi dan halamannya penuh mobil berplat merah. Bahkan bisa jadi, pejabat yang paling Pak Karna, duduk di shaf paling depan.
Mereka adalah ASN yang tahu pasti, bagaimana cara mendapatkan posisi. Selalu ada pintu untuk meraih posisi. Tidak harus selalu dari pintu bupati atau wakil bupati. Bisa juga melalui orang yang pegang kendali atas Bupati.
Pada akhirnya, penulis ucapkan selamat bertugas. Semoga mampu mengatasi dua tantangan berat itu.
PENULIS
ARIEF MA'RUF RISCAHYONO
0Komentar