Oleh : Abd. Rahman Saleh*
Pragmatisme pemilih sudah bukan pilihan politik yang rasional...
Menjelang pelaksanaan pemilu 2024 masyarakat tersibukkan dengan banyaknya para calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten Kota yang turun ke masyarakat. Geliat demokrasi menjelang hari pemungutan suara beragam warna yang dilakukan para calon anggota legislatif dengan berbagai kreasi dan cara. Politik sesaat semakin ketara kelihatan. Pergeseran aras demokrasi yang semula murni memilih karena nurani politik semakin hari semakin bergeser tak terarah. Pragmatisme pilihan politik saat ini hanya diukur dengan sejumlah pemberian sejumlah uang untuk memilih calon tertentu. Banyak dijumpai masyarakat menerima sejumlah uang yang beragam jumlahnya. Fakta ini adalah tak terelakkan disetiap pemilu. Kategori dan tolak ukurnya adalah ketika pemilu telah usai dan bagi yang terpilih tentu senang dan kebahagiaan yang didapat. Bagi yang tidak terpilih lamunan calon legislatif galau akibat banyaknya biaya politik yang terkuras selama proses pencalonan.
Pragmatisme pilihan politik yang ada ditengah kehidupan masyarakat tidak lepas dari budaya feodalisme. Yakni banyaknya para calon yang hanya mementingkan agar mereka terpilih menjadi legislatif. Ukuran kecakapan calon mampu tidaknya menjadi anggota legislatif udah bukan ukuran. Ada dana yang cukup untuk biaya pencalonan dan memberikan segepok uang kepada pemilih maka jadilah anggota legislatif. Nurani demokrasi yang berakal sehat tergerus oleh zaman. Zaman kekinian bukan pragmatisme pemilih sudah bukan pilihan politik yang rasional. Rasional pemilih sudah tidak rasional yang penting ada sejumlah uang bagi calon maka itulah keterikan pilihan politik yang akan dipilihnya.
Meskipun menjadi anggota DPR itu sangat mahal biaya politiknya tapi kenyataannya masih banyak masyarakat yang adu nasib mencalonkan diri untuk menjadi anggoata DPR. Status sosial yang dicari dan gengsinya yang begitu tinggi menjadi anggota DPR menjadi sebuah tujuan keterpilihannya. Simbol demokrasi yang dibangun dengan pondasi dan akar demokrasi melalui demokrasi yang berkerakyatan tergerus dengan mahalnya biaya untuk berdemokrasi. Tidak cukup calon anggota DPR hanya mengandalkan uang seratus juta rupiah. Adalah tidak cukup modal segitu. Ada dana untuk partai, mana dana untuk logistik pemilu, mana dana untuk konstituen bagi calon pemilih yang semuanya serba finansial.
Membeli suara dengan sejumlah uang agar memilih calon tertentu merebaknya kayak pemilihan kepala desa. Dalam kontestasi pemilihan kepala desa politik uang sudah tidak tabu lagi, tapi sudah merupakan hukum yang harus dilakukan. Jangan coba-coba mencalonkan kepala desa apabila tidak cukup dana untuk politik uang. Merambatnya politik uang pada tataran pemilu legislatif tidak lepas dari pragmatismenya pemilih. Rasional pemilih sudah tergerus dengan iming-iming kuasa uang agar bisa terpilih. Kalau tidak percaya hal ini coba lihat dan turun ke desa-desa dan atau kemasyarakat semakin fulgarnya taksasi politik uang demi keterpilihan calon.
Romantisme pemilu dimasa lalu dimasa orde lama maupun orde baru pada waktu itu masyarakat pemilih benar-benar memilih dengan rasionalitas ideologi politik. Ambil contoh ketika orde baru berkuasa ada tiga partai politik yang berkontestasi dalam pemilu. Ada partai Golkar yang merupakan partai pemerintah, ada Partai Demokrasi Indonesia atau yang lebih dengan dengan PDI, juga ada partai Persatuan Pembangunan atau lebih dikenal dengan PPP. Ketiga kekuatan partai politik ketika itu bertarung mencari basis massa karena didasari oleh idiologi partai. Ketika itu sangat fanatik kepada partai sehingga pemilih sangat rasional dan pasti para pemilih akan memilih calon legislatif yang seidiologi dengan dengan pemilih sehingga ikatan emosional terhadap idiologi partai sangat kuat. Hal yang demikian berdampak pada pola pilihan yakni memilih tanpa didasari adanya pemberian sejumlah uang kepada para calon pemilih.
Bandingkan dengan saat ini. Orang tidak akan memilih apabila tidak ada uang yang melekat kepada calon pemilih. Pragmatisme pilihan politik semakin nyata. Terutama terrhadap pemilihan calon anggota legislatis kabupaten kota. Karena gengsi para calon di pemilihan legislatif kabupaten kota sangat tinggi. Pokoknya yang penting jadi anggota legislatif meskpun memakai uang untuk mempengaruhi pemilih.
Akankah hal semacam ini akan terus berlanjut dipemilu-pemilu berikutnnya. Tentu masyarakatlah yang menentukan.Kedepan harus ada standar dan ada pakta integritas antar calon legislatif . Komisi Pemilihan Umum maupun Bawaslu harus mempolopori ini. Agar tidak ada lagi yang namanya politik uang. Kalau tidak ada politik uang maka harga untuk menjadi anggota DPR tidak akan mahal . Orang yang tidak punya uang akan mkir dua kali lipat untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPR. Akal sehat harus digunakan dan nurani pemilih juga harus diasah bahwa tidak benar memilih calon dengan sejumlah uang. Memilihlah dengan rasionalitas pemilih yakni pemilih yang benar-benar memilih calon yang sesuai dengan hati nurani. Memilih berdasarkan rasional yang jernih karena memilih calon karena calon yang bersangkutan mampu membawa dan mewakili rakyat untuk membangun bangsa. Apabila politik uang dikedepankan mana mungkin bisa membawa aspirasi masyarakat dalam arah pembangunan bangsa karena tersandra dengan hegemoni banykanya biaya politik yang dikeluarkan bagi calon.
Maraknya politik uang yang terbungkus secara samar sulit terendus oleh KPU maupun Baawaslu padahal ada politik uang. Tentu menjadi tugas Bawaslu dan KPU untuk menyikapi bagaimana jangan sampai terjadi pembelian suara bagi calon pemilih. Realitas ini menjadi catatan bagi demokrasi di negeri ini bahwa menjadi anggota DPR itu harganya sangat mahal yang hanya bisa dicapai bagi mereka-mereka yang punya uang untuk membayar pemilih. Lurusnya demokrasi dalam pemilu tergerus dengan mahalnya menjadi calon legislatif yang demikian ini berdampak pada kualitas yang terpilih. Akhirnya aras demokrasi ternoda dengan biaya demokrasi yang tersandra oleh mahalnya menjadi anggota DPR.
*Abd. Rahman Saleh
Dosen Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo
0Komentar