Demokrasi dan Tersandranya PEMILU 2024
Oleh : Abd. Rahman Saleh (*)
Pemilihan Umum sudah didepan mata . Ruang demokrasi terbuka lebar dalam tatanan kenegaraan bangsa untuk berdemokrasi secara sehat dan tertata. Ikrar setia bangsa ketika merdeka telah mengikatkan diri bahwa negara terbangun dengan demokrasi dengan karakter pancasila sebagai instrumen pengatur negara dalam berdemokrasi. Demokrasi dibangun dan dibentuk berdasarkan karakter bangsa berkerakyatan. Demokarsi tidak akan terbentuk manakala ada pengekangan masyarakat dalam berdemokrasi .
Hukum sebagai kostitusi negara dalam setiap pelaksanaan demokrasi pemilihan umum bersandar pada aturan dan tata kelola hukum kepemiluan yang telah di atur di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Perangkat kepemiluan dan tata cara pelaksanan pemilu diatur didalamnya. Munculnya kasus pemberhentian Ketua Hakim Mahkamah Kostitusi Anwar Usman yang diberhentikan dari posis jabatan ketua MK karena pelanggaran berat ketika memutus sengketa batas umur bagi calon presiden dan wakil presiden yang cidera etik sangat melukai hukum kostitusi. Diikuti dengan putusan pelanggaran berat bagi Ketua KPU karena melanggar etik berat dengan sanksi peringatan keras terakhir telah dengan nyata menodai penyelenggaraan pemilu di tahun 2024 ini.
Pemilu ditahun 2024 tersandra dengan putusan dua lembaga tersebut telah dengan jelas dan telah dengan nyata ada sesuatu yang salah secara etik yang tentu sangat berdampak pada prilaku . Ada hal yang dilanggar dan ada hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan tapi nyatanya dilakukan. Demokrasi pemilu 2024 cidera dan cacat etik sehingga mengurangi nilai pemilu yang jujur dan adil.
Aras demokrasi yang selama ini dibangun dan dibentuk oleh negara agara tatanan demokrasi berjalan dengan baik runtuh secara pelan-pelan. Tabiat prilaku pejabat dan penyelenggara demokrasi masih bermain-main dengan prilaku yang tidak etis. Ada sesuatu hal yang dilanggar yang sarat dengan kepentingan dan keberpihakan. Kalau terjadi yang demikian publik mulai tergerus kepercayaannya kepada demokrasi. Untuk apa membangun demokrasi yang pada akhirnya demokrasi tersandra dengan prilaku pejabat negara dan atau penyelenggara negara yang harusnya mentaati aturan hukum malah memainkan sebuah hukum yang berakibat pada pelanggaran etik berat.
Kalau sudah ada pelanggaran etik berat baik yang dilakukan di Mahkamah Kostitusi maupun yang ada di KPU mengakibatkan aurah demokrasi menjadi merah dan tidak putih lagi. Dinamika kekinian menjelang hari H pelaksanaan pemilu di tahun 2024 diwarnai dengan akrobat prilaku yang jauh dari nilai demokrasi. Kampus – kampus sebagai insan akademik yang murni dari kepentingan yang begitu keras mengutuk pola pemerintahan presiden Joko Widodo sebagai bukti nyata bahwa ada yang salah dalam pemilu ditahun 2024. Moralitas pejabat dan moralitas penyelenggara negara sudah jauh dari harapan dan tataran demokrasi yang stabi. Bentuk protes yang terus bergelombang menuntut agar presdiden kembali kepada jalur kostitusi karena masyarakat melihat ada hal yang salah yang dilakukan oleh pemerintah saat ini.
Lolosnya sang anak presiden Joko Widodo yakni Gibran dalam kostetasi sebagai calon wakil presiden merupakan preseden buruk demokrasi. Putusan Mahkamah Koastitusi yang dipaksakan yang meloloskan Gibran dalam posisi pencalonan sebagai wakil presdien adalah lonceng kematian kostitusi negara. negara sudah begitu mudahnya mengatur dan meremot tatanan negara yakni lembaga yudisisial Mahkamah Kostitusi agar seselera dengan kekuaasaan. Produk pemilu kali ini telah dengan begitu masif dan telah begitu nyata sudah kehilangan rohnya darsi sifat adil dan trasparan. Tekanan kepada masyarakat agar memilih kosntestan clon presiden dan wakil presden tertentu yang begitu masif merangkai sebuah kematian demokrasi. Pemilu yang bebas dan rahasia serta jujur dan adil sudah semakin jauh arah. Kendali kuasa sudah tidak bisa dibendung lagi untuk tetap menaruh akar kekuasaan melalui dinastinya.
Bansos yang disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan menambah menambah akar masalah tersandranya pemilu. Bahkan bagi-bagi bansos didepan istana oleh presiden sebagai bukti nyata ruang demokrasi sudah terkebiri dengan klim kekuasaan atas bantuan sosial. Bansos yang dibagi-bagikan didepan istana identik dengan cari perhatian publik bahwa negara itu baik. Padahal negara ini masih sakit. Bagaimana tidak sakit ada pelanggaran etika yang begitu berat dalam kepemiluan kita kali ini. Netralitas Aparatur Sipil Negara dan TNI serta Polri yang dipertanyakan netralitasnya menjadi semakin komplit cideranya demokrasi dipemilu kali ini. Selalu ada rung untuk berbuat tidak netral yang disalahgunakan. Fungsi pengawasan Bawaslu tidak bertaji dalam menilisik indikasi kecurangan pemilu.
Pemilu yang diharapkan sebagai sarana demokrasi dalam mencari pemimpin masa depan ternoda akibat tersandra pemilu dengan banyaknya pelanggaran etik yang mengarah kepada kualitas pemilu itu sendiri. Sehingga dataran idaman menciptakan pemilu jujur dan adil jauh dari harapan karena tersandra oleh pelanggaran etik bagi penyelenggara pemilu maupun bagi Makhkamah Kostitusi. Nurani keadilan pemilu menjadi kabur akibat sikap KPU dan MK sebagai jantungnya pemilu runtuh akibat pelanggaran berat etik yang ada didalamnya. Demokrasi kehilangan arah dalam meraih pemimpin masa depan bangsa yang baik.
(*)Abd. Rahman Saleh
Dosen Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo
0Komentar